1. Kepercayaan
Masyarakat Tionghoa
Sejarah kebudayaan
Tionghoa seperti kebudayaan kuno lainnya juga dimulai dengan mitologi –
mitologi. Di zaman dahulu kala, leluhur orang Tionghoa mulai menuliskan
pandangan mereka terhadap alam semesta ini. Mereka menganggap bahwa sebelum
dunia ini terbentuk, langit (Tian) dan bumi (Di) merupakan satu kesatuan yang
disebut dengan keadaan tidak berbentuk atau chaos (Hun Dun).
18 ribu tahun kemudian, seorang bernama Pan Gu (Cerita Legenda) mulai memisahkan langit dan bumi. Setiap hari, langit bertambah tinggi 3.3 meter, bumi bertambah tebal 3.3 meter dan Pan Gu bertambah tinggi 3.3 meter. Demikian seterusnya 18 ribu tahun berlalu dan langit telah sangat tinggi, bumi telah sangat tebal. Setelah Pan Gu wafat, anggota tubuhnya kemudian menjadi matahari dan bulan, gunung dan laut, sungai dan danau.
18 ribu tahun kemudian, seorang bernama Pan Gu (Cerita Legenda) mulai memisahkan langit dan bumi. Setiap hari, langit bertambah tinggi 3.3 meter, bumi bertambah tebal 3.3 meter dan Pan Gu bertambah tinggi 3.3 meter. Demikian seterusnya 18 ribu tahun berlalu dan langit telah sangat tinggi, bumi telah sangat tebal. Setelah Pan Gu wafat, anggota tubuhnya kemudian menjadi matahari dan bulan, gunung dan laut, sungai dan danau.
Inilah yang disebut
sebagai legenda Pan Gu memisahkan langit dan bumi (Pan Gu Kai Tian Di) dan Pan
Gu juga mendapat gelar Raja Langit Pertama (Yuan Shi Tian Wang). Jadi,
sebenarnya juga ada mitologi penciptaan di dalam kepercayaan tradisional
Tionghoa, cuma Pan Gu adalah tetap merupakan sosok manusia yang kemudian
menjadi tokoh legendaris yang tidak pernah di-Tuhan-kan.
Di kemudian hari, dalam mitologi
bangsa Tionghoa juga ada tokoh legendaris Nu Wa yang dikenal sebagai ibu pertama
dari bangsa Tionghoa menciptakan manusia dan menambal langit yang bocor. Fu Xi
yang mengajarkan cara membuat jala dan menangkap ikan, beternak dan berburu,
menciptakan Ba Gua (8 diagram) dan Shen Nung yang mengajari cara bertani, ahli
obat2 tradisional dan memperkenalkan
minuman teh.
Di masa ini, leluhur
orang Tionghoa menganggap bahwa alam semesta ini terbagi atas 2 bagian yaitu
langit dan bumi. Namun sampai pada munculnya Taoisme dan masuknya Buddhisme ke
Tiongkok, bagian alam semesta tadi berkembang menjadi yang sekarang kita kenal
yaitu 3 bagian yang terdiri dari alam Langit (Tian Jie), alam Bumi (Ming Jie)
dan alam Baka (You Jie). Dan dalam perkembangannya akhirnya lahir aliran yang
disebut sebagai Tri-Dharma (Sam Kau = hokkian, Shan Jiau = mandarin) yaitu
gabungan antara Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme.
Pada dasarnya, ada
beberapa orang yang mengartikan Tri-Dharma sebagai kepercayaan tradisional yang
telah ada jauh sebelum agama eksis dan merupakan bagian dari budaya
(sinkretisme budaya), dan masing – masing saling mempengaruhi bentuk dan
transformasi ketiga agama tadi dalam batas – batas tertentu. Dan ada pula yang
mengatakan, di zaman dulu, ada atau tidaknya agama leluhur orang Tionghoa,
mereka tetap akan memegang teguh kepercayaan tradisional ini.
Konsep Tiga Alam
Konsep tiga alam adalah
inti dari kepercayaan tradisional Tionghoa. Leluhur orang Tionghoa percaya
bahwa tiga alam ini mempunyai peranannya masing – masing dalam menjaga
keseimbangan alam semesta ini. Ketiga alam ini tidak dapat dipisahkan dan
berdiri sendiri tanpa kedua alam lainnya.
Alam Langit (Tian Jie)
adalah menunjuk pada alam yang didiami dan menjadi tempat kegiatan para raja –
raja Langit (Tian Wang) dan dewa-dewi langit (Tian Shen). Alam ini dianggap
sebagai pusat pemerintahan alam semesta, yang mengatur seluruh kehidupan di
alam bumi. Orang – orang besar yang berjasa di bidangnya masing2 terhadap
masyarakat Tionghoa di zamannya (dipercaya) dapat naik menjadi dewa-dewi di
alam Langit. Nenek moyang dalam mitologi seperti Nu Wa, Fu Xi dan Shen Nung
serta kaisar – kaisar legendaris seperti Yao, Xun dan Yu adalah bertempat
tinggal di sana bersama dengan dewa-dewi pejabat pemerintahan langit lainnya
yang akan diterangkan lebih lanjut dalam bagian yang lain.
Alam Bumi (Ming Jie)
adalah menunjuk pada bumi tempat kita berada, yang menjadi tempat tinggal dan
tempat kegiatan dari seluruh makhluk hidup. Dewa-dewi dan pejabat di alam
Langit (dianggap) bertanggung jawab melaksanakan tugas pemerintahan mereka di
alam Bumi. Juga disebut sebagai Yang Jian atau pun Ren Jian.
Alam Baka (You Jie)
adalah menunjuk pada alam di bawah bumi ataupun alam sesudah kematian, yaitu
alam yang menjadi tempat domisili dan kegiatan dari roh (Ling) dan hantu –
hantu (Gui) dari manusia setelah meninggal dunia. Di alam ini, (dipercaya) ada
sekelompok dewa dan pejabat alam yang khusus memerintah di alam ini. Dalam
kepercayaan tradisional, leluhur orang Tionghoa mempercayai bahwa kehidupan
setelah meninggal adalah lebih kurang sama dengan kehidupan manusia di dunia
ini. Di alam ini, setiap orang akan menjalani pengadilan yang akan membawa
kepada hadiah maupun hukuman dari dewa dan pejabat di alam ini. Alam Baka
keseluruhan berjumlah 10 Istana Yan Luo (Shi Dian Yan Luo) dan 18 Tingkat
Neraka (Shi Ba Ceng Di Yu).
Dalam perkembangannya,
kepercayaan mengenai alam Baka ini kemudian terpengaruh oleh konsep reinkarnasi
dari Buddhisme yang ditandai dengan kepercayaan bahwa roh yang hidup di alam
Baka kemudian akan terlahir kembali ke dunia sebagai manusia setelah lupa akan
kehidupan sebelumnya dengan meminum sup Meng Po dan melewati jembatan Nai He.
Perbedaan yang mendasar adalah bahwa kepercayaan tradisional ini menganggap
manusia hanya akan terlahir kembali sebagai manusia dan tidak sebagai makhluk
lainnya.
Hubungan dan Interaksi
Antar Tiga Alam Alam Langit, alam Bumi dan alam Baka adalah mempunyai hubungan
satu sama lain dan dapat berinteraksi di antaranya. Kepercayaan leluhur orang
Tionghoa bahwa ada kehidupan setelah kematian, seseorang yang telah meninggal akan
menjadi roh (Ling) ataupun hantu (Gui).
Roh ini terbagi atas roh yang
baik dan jahat. Roh yang dihormati dan dikenang oleh keturunannya sehingga
dapat menjaga, melindungi dan membawa berkah pada keluarga anak cucunya adalah
roh leluhur yang baik. Sedangkan roh yang tidak mendapat penghormatan,
perlakuan layak dan wajar oleh keturunannya ataupun yang meninggal secara tidak
wajar biasanya merupakan roh yang jahat. Roh yang jahat inilah yang biasanya
kita kenal dengan sebutan hantu.
2. Pengertian
Dewa
Dewa adalah sebuah ‘Sebutan’
posisinya hampir serupa dengan sebutan lain seperti misalnya ‘Sarjana’. Sebutan
ini diberikan kepada ‘Sosok’ yang telah sukses dalam mencapai ‘Kesempurnaan’
hidup secara menyeluruh. (Baca: Spiritual)
Dalam bahasa aslinya Dewa disebut
‘Shen Sian’, merupakan sebutan yang mewakili Dewa-Dewi secara menyeluruh.
Dimana jika dibedakan lagi, akan terdapat 2 kelompok Dewa yaitu:
Kelompok Dewa yang disebut
‘Shen’. Kelompok ini terkesan ‘Formal’, (mungkin) seperti pejabat militer.
Contohnya antara lain: Dewa Kwan Kong.
Kelompok Dewa yang disebut ‘Sien
/ Xian’. Kelompok ini terkesan ‘Santai’, (mungkin) seperti pejabat sipil.
Contohnya antara lain Pat Sian / Delapan Dewa.
Sebenarnya kedua kelompok
tersebut sama saja, manusia ‘melihat’ ada perbedaan lalu menyebutnya berbeda.
Selain itu Dewa-Dewi juga
digolongkan menjadi 2 kelompok yaitu:
Dewa-Dewi Sien Thien. Maksudnya
adalah Dewa-Dewi yang tidak diketahui sejarahnya. Dan mungkin sekali
keberadaannya sudah ada jauh sebelum adanya peradaban manusia, atau bahkan
(dipercaya) sudah ada jauh sebelum bumi tercipta. Contohnya antara lain: Yi
Vang Ta Ti (Tien Kung), Ciu Thien Sien Nie dll.
Dewa-Dewi Hou Thien. Maksudnya
adalah kelompok Dewa-Dewi yang berasal dari manusia yang (dianggap) telah mencapai
kesempurnaan. Karenanya seringkali Beliau memiliki catatan otentik kehidupan
saat menjadi manusia. Contohnya antara lain Pat Sian, Tien Sang Shen Mu. Juga
legenda Hakim Bao yang menjadi Hakim Neraka.
Dalam perkembangannya Agama
Rakyat tercampur dengan ajaran Buddha. Sehingga kadang umat Klenteng mencampur
adukkan antara Shen Sien yang diterjemahkan sebagai Dewa dengan deva, yaitu
makhluk yang hidup di alam surga menurut ajaran Buddha. Apalagi deva juga
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi dewa. Padahal sebenarnya
pengertian antara Shen Sien dengan deva tidaklah sama.
Untuk bisa mencapai tingkat Shen
Sien, maka manusia harus Membina Diri untuk mencapai kesempurnaan yang
targetnya antara lain:
Mencapai
kesempurnaan Fisik.
Mencapai
kesempurnaan batin / kesadaran dengan mencapai Pencerahan.
Mencapai
kesempurnaan Sukma dengan mencapai Keabadian.
Memupuk
perilaku Kebajikan, menjadi manusia Bijaksana.
Selain itu ada lagi target
akhirnya yaitu ‘Tien Ren Hek Yi’ atau ‘kembali’ ke Wu Chik. Sedangkan agar
‘terlahir’ di alam surga menjadi deva (dipercaya) "targetnya"
tidaklah selengkap hal diatas. Selain itu ada lagi sosok yang ‘menjadi’
Dewa karena ‘didewakan’, namun ini adalah suatu persoalan tersendiri.
Namun, tidak
semuanya akan menjadi roh ataupun hantu. Ada tokoh tertentu yang berjasa dan
berkontribusi besar bagi masyarakat, kebudayaan dan negara dipercaya akan naik
derajatnya menjadi dewa-dewi yang patut dihormati masyarakat luas untuk
mengenang dan menghormati jasa mereka. Banyak dari dewa-dewi leluhur orang
Tionghoa yang sebenarnya merupakan tokoh sejarah yang benar – benar pernah
hidup pada masanya dan bukan cuma legenda atau mitologi. Masing – masing
dewa-dewi tersebut mempunyai peranan dan kelebihan masing – masing pula.
seperti Guan Gong (nama asli Guan Yun-chang) yang hidup masa Dinasti Han akhir
(Tiga Negara) dipuja sebagai Dewa Perang yang melambangkan kekuatan dan
kesetiaan, lalu Ma Zhu Niang-niang (nama asli Lin Mo-niang) yang hidup di zaman
Dinasti Sung yang dipuja sebagai Dewi Samudera yang melambangkan bakti seorang
anak kepada orang tuanya.
Dari semua bentuk interaksi ini,
yang paling nyata dan penting dalam kepercayaan tradisional ini adalah upacara
merayakan ulang tahun dewa-dewi (Wei Shen Zuo Shou) dan membantu roh untuk
terbebas dari penderitaan (Ti Gui Cao Sheng, dalam agama tertentu dapat
disamakan dengan pelimpahan jasa). Kedua upacara ini biasanya diselenggarakan
bersamaan pada hari ulang tahun dari dewa-dewi tersebut. Semua ini dilakukan
demi penghormatan kepada dewa-dewi dan roh – roh yang dianggap dapat
mempengaruhi kehidupan manusia di dunia ini. Bentuk – bentuk ritual
kepercayaan ini sangat berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Namun
di dalam perbedaan tersebut, persamaannya masih tetap lebih menonjol karena
dewa-dewi yang dipuja dan inti dari penghormatan tersebut adalah sama
hakikatnya.
3. Asal
Usul Dewa-Dewi Dalam Kepercayaan Tradisional Tionghoa
Secara garis besar maka jenis –
jenis dewa-dewi yang dipuja dalam kepercayaan tradisional ini berdasarkan asal
usulnya adalah :
Bentuk penghormatan kepada alam
(Ze Ran Chong Bai)
Kategori ini termasuk
dewa-dewi yang paling awal karena telah ada sejak zaman dahulu kala jauh
sebelum munculnya penghormatan jenis lainnya. Karena di zaman dulu, alam
merupakan tantangan keras bagi leluhur bangsa Tionghoa untuk bertahan hidup,
maka leluhur bangsa Tionghoa berusaha hidup harmonis dalam kerasnya alam.
Catatan yang perlu diingat adalah sebagian dari Dewa jenis ini memiliki history
sebagai manusia yang pada masa hidupnya adalah merupakan manusia biasa, pejabat
bahkan Raja yang semuanya pernah berjasa bagi masyarakat dan dikagumi.
Dewa-dewi dari jenis penghormatan ini misalnya :
Yu Huang Da Di = Raja Langit,
merupakan bentuk penghormatan pada langit.
Fu De Zheng Shen (Tu Di Gong atau
Tho Te Kong) = Dewa Bumi/Tanah, merupakan penghormatan pada bumi.
Wu Lei Yuan Shuai (Lei Gong atau
Li Kong) = Dewa Petir, merupakan penghormatan pada petir.
Dan masih banyak lagi
Bentuk penghormatan kepada
leluhur (Zu Xian Chong Bai) Kategori ini muncul setelah adanya pengaruh
Konfusianisme yang sangat menekankan pentingnya penghormatan kepada leluhur,
terutama yang berjasa dan berkontribusi bagi orang banyak. Bila tidak ada
leluhur, tentu kita tidak akan berada di sini sekarang.
Dewa-dewi bentuk penghormatan
terdiri dari tokoh-tokoh sejarah besar, tokoh-tokoh mitologi yang dianggap
sebagai leluhur jauh maupun dekat, misalnya :
Tokoh2 sejarah : Kaisar
pra-Dinasti Xia seperti Yao, Shun dan Yu.
Kong Zi Gong =
Konfusius/Khonghucu, lambang kebijakan.
Fo Zu = Buddha Sakyamuni/Hud Cho.
Tai Shang Lao Jun = Lao-tse.
Guan Sheng Di Jun = Kwan Kong,
lambang kesetiaan.
Bao Gong = Bao Zheng/Hakim Bao,
lambang keadilan.
Tian Shang Sheng Mu = Ma Zu/Ma
Cho, lambang bakti anak terhadap orang tua.
Tokoh mitologi (Dalam pengertian
belum ditemukan bukti otentik bahwa tokoh-tokoh ini pernah hidup sebagai
manusia) :
Yuan Shi Tian Wang = Pan Gu,
tokoh mitos penciptaan alam semesta.
Nu Wa Niang Niang = Nu Wa, tokoh
mitos penciptaan manusia.
Qi Tian Da Sheng = Sun Go Kong,
tokoh mitos dalam cerita Perjalanan ke Barat (Xi You Ji).
Xuan Yua Shi = Huang Di, kaisar
purba di abad 27 SM.
Wu Ke Da Di = Shen Nung, ahli
pertanian dan obat tradisional.
Bentuk lain – lain (Shu Wu Chong
Bai) Kategori ini adalah bentuk penghormatan yang tidak termasuk ke dalam
kategori di atas. Misalnya :
Men Shen = Dewa Pintu.
Zao Jun = Dewa Dapur.
Bila diperhatikan, maka
hampir semua dari dewa-dewi yang ditinggikan di dalam kepercayaan tradisional
ini adalah dimanusiakan tanpa memandang bentuk asalnya. Ini terutama terlihat
dalam bentuk penghormatan pada alam maupun bentuk – bentuk lain. Namun apapun
bentuk yang ditunjukkan (patung, papan nama penghormatan dan lain – lainnya),
yang dipuja dan dihormati tentu bukan bentuk real darinya.
0 komentar:
Posting Komentar