PENGANTAR VINAYA
Editor
:
Bhikkhu Subalaratano
Dharma K. Widya;
Diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda;
Jakarta, 1988, Edisi Pertama
Bhikkhu Subalaratano
Dharma K. Widya;
Diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda;
Jakarta, 1988, Edisi Pertama
BAB I
P E N D A H U L U A N
P E N D A H U L U A N
A. PENGERTIAN VINAYA
Vinaya berarti Peraturan, Disiplin
atau Tata Tertib. Kata Vinaya sendiri berarti :
melenyapkan/menghapus/memusnahkan/menghilangkan – dalam hal ini – segala
tingkah laku yang menghalangi kemajuan dalam Jalan Pelaksanaan Dhamma; atau
sesuatu yang membimbing ke luar (dari dukkha). Ada beberapa hal yang menyebabkan
Sang Buddha menetapkan Vinaya :
“Untuk tegaknya Sangha (tanpa Vinaya, Sangha tidak akan
bertahan lama).
Untuk kebahagiaan Sangha (sehingga bhikkhu mempunyai sedikit rintangan dan hidup damai).
Untuk pengendalian diri orang-orang yang tidak teguh (yang dapat menimbulkan persoalan dalam Sangha),
Untuk kebahagiaan bhikkhu-bhikkhu yang berkelakuan baik (pelaksanaan sila murni menyebabkan kebahagiaan sekarang ini),
Untuk perlindungan diri dari asava dalam kehidupan ini (karena banyak kesukaran dapat dihindarkan dengan tingkah laku moral yang baik),
Untuk perlindungan diri asava yang timbul dalam kehidupan yang akan datang (asava tidak timbul pada orang yang melaksanakan sila dengan baik),
Untuk membahagiakan mereka yang belum bahagia (orang yang belum mengenal Dhamma akan bahagia dengan tingkah laku bhikkhu yang baik),
Untuk meningkatkan mereka yang berbahagia (orang yang telah mengenal Dhamma akan bahagia melihat pelaksanaannya),
Untuk tegaknya Dhamma yang Benar (Dhamma akan bertahan lama bila Vinaya dilaksanakan dengan baik oleh para bhikkhu),
Untuk manfaat dari vinaya (Vinaya dapat memberi manfaat kepada makhluk-makhluk, terbebas dari dukkha, menuju Nibbana).”
Untuk kebahagiaan Sangha (sehingga bhikkhu mempunyai sedikit rintangan dan hidup damai).
Untuk pengendalian diri orang-orang yang tidak teguh (yang dapat menimbulkan persoalan dalam Sangha),
Untuk kebahagiaan bhikkhu-bhikkhu yang berkelakuan baik (pelaksanaan sila murni menyebabkan kebahagiaan sekarang ini),
Untuk perlindungan diri dari asava dalam kehidupan ini (karena banyak kesukaran dapat dihindarkan dengan tingkah laku moral yang baik),
Untuk perlindungan diri asava yang timbul dalam kehidupan yang akan datang (asava tidak timbul pada orang yang melaksanakan sila dengan baik),
Untuk membahagiakan mereka yang belum bahagia (orang yang belum mengenal Dhamma akan bahagia dengan tingkah laku bhikkhu yang baik),
Untuk meningkatkan mereka yang berbahagia (orang yang telah mengenal Dhamma akan bahagia melihat pelaksanaannya),
Untuk tegaknya Dhamma yang Benar (Dhamma akan bertahan lama bila Vinaya dilaksanakan dengan baik oleh para bhikkhu),
Untuk manfaat dari vinaya (Vinaya dapat memberi manfaat kepada makhluk-makhluk, terbebas dari dukkha, menuju Nibbana).”
(Anguttara Nikaya, Book of Tens,
Discourse 31)
Terdapat dua alasan tambahan
(Anguttara Nikaya) :
“Untuk simpati dengan umat berkeluarga, dan
“Untuk mematahkan semangat para bhikkhu yang berpikiran tidak baik”.
“Untuk simpati dengan umat berkeluarga, dan
“Untuk mematahkan semangat para bhikkhu yang berpikiran tidak baik”.
Dhamma dan Vinaya (gabungan keduanya
disebut Buddha Sasana) merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dhamma
tanpa Vinaya akan merupakan ajaran yang tidak mununjukkan awal atau permulaan
untuk dilaksanakan. Sebaliknya, Vinaya tanpa Dhamma akan merupakan formalisme
kosong, suatu disiplin yang hanya menghasilkan sedikit buah atau kemajuan.
B. DUA JENIS VINAYA
Vinaya tidak hanya diartikan sebagai
peraturan yang berhubungan dengan kebhikkhuan saja.Memang Vinaya Pitaka
berisikan peraturan latihan, larangan, yang dibolehkan dengan
ketetuan-ketentuan yang mengatur kehidupan bhikkhu, namun dikenal pula Vinaya
untuk umat berkeluarga atau upasaka-upasika.Dalam pengertian yang sempit,
Vinaya untuk umat berkeluarga adalah Pancasila dan pengertian yang lebih luas
dalam Sigalovada Sutta disebut pula “Gihi-Vinaya” (Vinaya untuk umat
berkeluarga).
Terdapat perbedaan antara sila untuk
umat berkeluarga dan sila untuk bhikkhu.Sila untuk umat berkeluarga bersifat
moral semata-mata dan digolongkan dalam Pakati-sila (sila alamiah). Sementara
itu, bagi para bhikkhu, selain sila yang bersifat moral, berlaku sila yang
khusus untuk cara hidupnya, dan sila itu digolongkan dalam Paññati-sila
(“Formulated-sila”). Para bhikkhu dan umat berkeluarga haruslah mentaati Vinaya
atau sila secara murni dan tidak terjatuh dalam pelanggaran.Dikenal adanya
“kukkuccayanta bhikkhu” yaitu para bhikkhu yang seksama atau teliti yang tidak mau
menerima sesuatu apapun kecuali telah diperkenankan oleh Sang Buddha. Terdapat
pula “appiccha bhikkhu” yaitu bhikkhu dengan sedikit keinginan yang merasa malu
akan kelalaian dan tingkah laku bhikkhu lain yang tidak benar. “Sidikit
keinginan” merupakan kata lain dari “santutthi” (merasa puas), suatu sifat yang
sangat berharga untuk seorang bhikkhu.
Sang Buddha bersabda :
“Sempurnalah dalam sila, O bhikkhu, sempurnalah dalam Patimokkha.
Kendalikanlah diri sesuai dengan Patimokkha.
Sempurnalah dalam tingkah laku dan waspadalah dengan melihat bahaya sedikitpun pada kesalahan yang paling kecil, dan latihlah dirimu dengan melaksanakan secara benar peraturan-peraturan latihan ini”.
“Sempurnalah dalam sila, O bhikkhu, sempurnalah dalam Patimokkha.
Kendalikanlah diri sesuai dengan Patimokkha.
Sempurnalah dalam tingkah laku dan waspadalah dengan melihat bahaya sedikitpun pada kesalahan yang paling kecil, dan latihlah dirimu dengan melaksanakan secara benar peraturan-peraturan latihan ini”.
C. VINAYA PITAKA
Aturan-aturan disiplin yang disusun
dalam dua himpunan berdiri sendiri, yang kemudian mendapat penambahan.
- Suttavibhanga
Penggolongan pelanggaran dalam delapan kelompok dimulai dengan empat aturan parajika mengenai pelanggaran-pelanggaran yang dapat menyebabkan seorang bhikkhu dikeluarkan dari Sangha. Pelanggaran-pelanggaran ini meliputi pelanggaran seks, pencurian, pembunuhan dan pembujukan untuk membunuh diri, kesombongan palsu akan kemampuan gaib diri sendiri. Aturan-aturan ini berjumlah 227. Seluruhnya sama dengan peraturan-peraturan Patimokkha yang diucapkan pada pertemuan Uposatha dari Sangha. Bagian ini dilanjutkan dengan Bhikkhuni-suttavibhanga, suatu rangkaian aturan untuk para bhikkhuni. - Khandhaka-Khandaka, yang disusun dalam dua seri.
- Mahavagga
(1) Aturan-aturan untuk memasuki Sangha.
(2) Pertemuan Uposatha dan pengucapan Patimokkha
(3) Tempat tinggal selama musim hujan (vassa)
(4) Upacara penutupan musim hujan (pavarana)
(5) Aturan untuk menggunakan pakaian dan perabot hidup
(6) Obat-obatan dan makanan
(7) Upacara Kathina, pembagian jubah tahunan
(8) Bahan jubah, aturan tidur dan aturan bagi bhikkhu yang sedang sakit
(9) Cara menjalankan keputusan oleh Sangha
(10) Cara menyelesaikan perselisihan dalam Sangha - Cullavagga
(1,2) Aturan-aturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran yang dihadapkan kepada Sangha
(3) Penerimaan kembali seorang bhikkhu
(4) Aturan-aturan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul
(5) Berbagai aturan untuk mandi, berpakaian, dan lain-lain
(6) Tempat tinggal, perabot, penginapan-penginapan
(7) Perpecahan
(8) Perlakuan pada berbagai golongan bhikkhu dan kewajiban para guru dan samanera
(9) Pengucilan dari Patimokkha
(10) Pentahbisan dan petunjuk bagi para bhikkhuni
(11) Sejarah Sidang Agung pertama di Rajagaha
(12) Sejarah Sidang Agung kedua di Vesali - Parivara. Ringkasan dan penggolongan aturan.
Aturan-aturan
dalam Suttavibhanga dan Khandhaka-Khandhaka disertai cerita mengenai terjadinya
aturan itu. Beberapa di antaranya benar-benar formal, yang semata-mata
menunjukkan bahwa bhikkhu atau sekelompok bhikkhu telah melakukan pelanggaran
atau mengikuti kebiasaan tertentu yang karenanya Sang Buddha menetapkan suatu
keputusan. Akan tetapi, cerita-cerita nyata dimasukkan teristimewa dalam
Mahavagga dan Cullavagga serta khotbah-khotbah dari Nikaya-Nikaya.
Aturan-aturan
penerimaan dalam Sangha didahului oleh cerita mengenai kejadian setelah
mencapai penerangan, awal pembabaran Dhamma dan penerimaan siswa-siswa
pertama.Cerita mengenai Rahula diberikan sehubungan dengan syarat-syarat yang
diperlukan untuk penerimaan, dan aturan-aturan mengenai perecahan adalah cerita
tentang komplotan Devadatta.
B A B II
VINAYA UPASAKA
VINAYA UPASAKA
A. PANCASILA
Umat Buddha yang hidup berkeluarga
dalam masyarakat disebut upasaka (/ upasika).Kata upasaka berarti “yang duduk
dekat (Guru)”.Kadang-kadang disebut pula umat yang berpakaian putih
(“white-clad follower” atau “white-robed householder”), sedangkan bhikkhu
merupakan siswa yang berjubah kuning (“yellow-robed”).Dalam hidup sehari-hari
mereka melatih diri dalam Pancasila.
Dalam Dhammapada 246-247 terdapat
sabda Sang Buddha sebagai berikut :
“Siapa saja yang memusnahkan makhluk hidup,
berkata dusta di alam ini,
mengambil sesuatu yang tidak diberikan padanya,
atau pergi bersama isteri orang lain, dan
memuaskan diri demikian,
memotong akar dalam dirinya
di alam ini.”
berkata dusta di alam ini,
mengambil sesuatu yang tidak diberikan padanya,
atau pergi bersama isteri orang lain, dan
memuaskan diri demikian,
memotong akar dalam dirinya
di alam ini.”
Perbuatan-perbuatan yang tidak baik
itu haruslah dihindarkan bila seseorang ingin menjadi seorang “manusia” tidak
hanya dalam jasmaninya saja, tetapi juga batinnya.Pancasila disebut
“manussa-dhamma” (Dhamma untuk manusia) karena kelahiran sebagai seorang
manusia sangat tergantung pada pelaksanaan Pancasila ini.Kelima sila dari
Pancasila merupakan petunjuk tingkah laku moral dasar dan minimal yang harus
dilaksanakan oleh seorang umat Buddha. Pelaksanaan sila-sila ini akan
menghindarkan seseorang dari melakukan perbuatan tidak baik dengan perkataan
atau badan jasmani dan merupakan dasar untuk pekembangan lebih lanjut dalam
Dhamma. Uraian Pancasila adalah sebagai berikut :
- Saya berjanji melatih diri untuk tidak menghilangkan nyawa makhluk hidup
- Saya berjanji melatih diri untuk tidak mengambil sesuatu yang tidak diberikan.
- Saya berjanji melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan asusila (berzinah).
- Saya berjanji melatih diri untuk tidak berbicara salah
- Saya berjanji melatih diri untuk tidak minum minuman yang disuling/diragi yang menyebabkan menurunnya kesadaran.
Pada hari-hari Uposatha, umat Buddha
dianjurkan untuk melaksanakan Atthasila (delapan sila), biasanya dengan berdiam
di vihara selama hari tersebut.Kata Uposatha berarti “masuk untuk berdiam” (di
vihara), dan hari Uposatha jatuh pada tanggal 1, 8, 15 dan 23 penanggalan
bulan.Selama di vihara pada hari Uposatha seorang umat Buddha dapat
mendengarkan khotbah Dhamma, berdiskusi Dhamma, atau melatih diri dalam
meditasi. Dalam Atthasila, sila ketiga Pancasila diganti menjadi :
3. Saya berjanji melatih diri untuk tidak melakukan hubungan
kelamin, dan ditambah dengan tiga sila lainnya, yaitu :
- Saya berjanji melatih diri untuk tidak makan di luar waktu yang ditentukan (sesudah pukul 12 siang),
- Saya berjanji melatih diri untuk tidak melihat/mendengar/melakukan tarian, nyanyian, musik, pertunjukkan, mengenakan perhiasan bunga, memakai wangi- wangian dan kosmetik.
- Saya berjanji melatih diri untuk tidak tidur di tempat tidur di tempat yang tinggi/besar.
Secara lebih terinci, sila yang
harus dilaksanakan oleh umat Buddha dalam kehidupannya dapat diuraikan sebagai
Penghindaran Diri dari Sepuluh Kamma Buruk, yaitu :
1. Membunuh
2. Mencuri
3.Berhubungan kelamin yang terlarang
4.Berdusta
5.Mencaci
6.Berkata kasar
7.Omong kosong
8.Menyimpan loba
9.Berkeinginan jahat
10. Berpandangan keliru
2. Mencuri
3.Berhubungan kelamin yang terlarang
4.Berdusta
5.Mencaci
6.Berkata kasar
7.Omong kosong
8.Menyimpan loba
9.Berkeinginan jahat
10. Berpandangan keliru
Dalam hubungan ini, seorang umat
Buddha dalam penghidupannya haruslah pula menghindarkan diri dari cara-cara
penghidupan yang tidak benar seperti berdagang senjata, makhluk hidup, daging,
alkohol dan racun.
B. SIGALOVADA SUTTA
Sigala adalah seorang putera dari
keluarga Buddhis yang berdiam di Rajagaha. Orang tuanya adalah penganut ajaran
yang berbakti dari Sang Buddha, tetapi ia sendiri bersikap acuh tak acuh
terhadap agama. Ayah dan ibunya tidak dapat membujuknya dengan cara apapun
untuk menyertai mereka mengunjungi Sang Buddha atau siswa-siswa-Nya dan
mendengarkan Dhamma yang Mulia. Sigala berangapan bahwa tidak ada gunanya
mengunjungi Sangha karena hal itu dapat mengakibatkan kerugian materi.Pikirannya
hanya tertuju pada kesejahteraan materi, dan kemajuan batin dianggapnya sesuatu
yang sia-sia. Katanya selalu pada ayahnya : “Saya tidak mempunyai sesuatu yang
harus dilakukan dengan para bhikkhu. Memberikan hormat pada mereka akan membuat
pinggang sakit dan lutut kaku. Saya harus duduk di lantai dan melepaskan
pakaian saya.Kemudian, dalam percakapan dengan mereka, setelah duduk demikian,
seseorang harus mengerti, harus mengundang mereka makan dan memberikan
persembahan, dengan demikian seseorang hanya akan mendapatkan kerugian
karenanya.”
Ketika sang ayah akan meninggal, ia
memanggil puteranya, dan bertanya apakah puteranya itu mau menjalankan nasihat
terakhirnya. Sigala menjawab : “Tentu saja, Ayah, saya akan melaksanakan
petunjuk apapun yang Ayah berikan pada saya.” “Baiklah, Anakku, sesudah engkau
mandi pagi, memujalah kepada enam arah”. Sang ayah meminta puteranya berbuat
demikian dengan harapan agar pada suatu hari ketika puteranya sedang melakukan
hal itu, Sang Buddha atau siswa-Nya akan melihatnya, dan berkesempatan untuk
memberikan khotbah yang sesuai baginya. Karena keinginan terakhir seseorang
yang meninggal harus dilaksanakan, Sigala menjalankan keinginan ayahnya itu,
meskipun tidak mengetahui maknanya.
Pada suatu ketika Sang Buddha
berdiam di Hutan Bambu dekat Rajagaha. Menjadi kebiasaan Sang Buddha untuk
bangun pada pukul 4 pagi sesudah menikmati Kebahagiaan Nibbana selama satu jam
untuk memancarkan Pikiran Cinta Kasih yang Tak Terbatas ke seluruh alam
semesta. Beliau mengamati dunia dengan penuh belas kasihan untuk mencari orang
yang dapat ditolong-Nya pada hari tersebut.
Sigala yang sedang memuja enam arah
dengan pakaian basah dan rambut basah tertampak oleh Sang Buddha yang melihat
bahwa kepada Sigala dapat ditunjukkan cara yang lebih baik untuk perbuatan
pemujaannya itu. “Hari ini Aku akan memberikan khotbah kepada Sigala tentang
Vinaya Umat Berkeluarga. Khotbah itu akan memberikan manfaat bagi orang banyak.
Ke sanalah Aku akan pergi”.Sang Buddha kemudian menuju ke Rajagaha untuk
pindapata dan dalam perjalanan itu menemui Sigala. Setelah Sang Buddha selesai
berkhotbah, Sigala menyatakan dirinya berlindung kepada Buddha, Dhamma dan
Sangha sejak hari itu sampai akhir hayatnya.
(Isi Sigalovada Sutta dapat dibaca
di berbagai buku lain. Oleh karena itu, sutta itu tidak dimuat dalam buku ini.
Sebagai tambahan, simbolisasi arah dapat diuraikan sebagai berikut : karena
hari mulai di Timur, maka kehidupan mulai dengan perawatan oleh orang tua;
penghormatan guru dan Selatan mempunyai kata yang sama : dakkina; perawatan
sehari-hari dalam keluarga terjadi setelah remaja menjadi dewasa, seperti Barat
merupakan arah setelah tengah hari; Utara adalah “di luar” (uttara),
demikianlah oleh bantuan teman-teman dan lain-lain, seseorang akan terbebas
dari kesulitan. Diperlukan pula bagi seseorang untuk mendapat bimbingan Dhamma
(Kebenaran) dari para Samana (pertapa) maka arah Atas berarti penghormatan
kepada Guru Dhamma.Dalam berusaha dan bekerja seseorang juga perlu bantuan dari
pegawai/karyawan, maka arah bawah menunjukkan penghargaan kepada
bawahan/karyawan).
C. CATATAN : ETIKA MANUSIA
1. Maha Mangala Sutta
Sutta ini sangat terkenal dan
merupakan ringkasan yang singkat tetapi menyeluruh mengenai etika Buddhis,
secara individu maupun sosial.Tiga puluh delapan Berkah Tertinggi yang terdapat
di dalamnya merupakan penuntun yang pasti dalam kehidupan manusia.Dimulai
dengan “Janganlah berhubungan dengan orang yang dungu” (dungu di sini tidak
hanya berarti bodoh atau tidak berbudaya, tetapi juga yang mempunyai kekejian
dalam pikiran, perkataan dan perbuatan) yang penting untuk kemajuan moral dan
spiritual; diakhiri dengan pencapaian batin yang terbebas dari nafsu, tak
tergoncangkan dalam ketenangan.Sutta ini merupakan sutta yang sangat sering
dibacakan oleh umat Buddha dalam berbagai kesempatan yang berbahagia seperti
pada pernikahan, pemberkahan, pelantikan dan sebagainya.
Kata mangala berarti yang
mendatangkan kebahagiaan dan kemakmuran (“which is conducive to happiness dan
prosperity”). Berasal dari : “Man” (keadaan yang tidak menyenangkan), “ga”
(pergi) dan “la” (memotong), kata itu berarti yang menghalangi jalan menuju
penderitaan (that which obstructs the way to states of misery”). Dikisahkan
pada suatu waktu terjadi perdebatan mengenai apa yang sebenarnya disebut Berkah
(Mangala). Ada yang menafsirkan bahwa mangala adalah sesuatu yang indah dilihat
misalnya pemandangan yang syahdu Anda pagi hari (seperti seorang wanita dengan
anaknya, anak laki-laki kecil , lembu jantan putih dan sebagainya). Ada yang
berpendapat bahwa mangala adalah suara yang indah didengar seperti “penuh”,
“keberuntungan” dan sebagainya.Lainnya lagi berpendapat bahwa mangala adalah
suatu pengalaman yang menyenangkan seperti bau harumnya bunga, sentuhan ke
tanah dan sebagainya.
Perdebatan itu tidak mencapai kata
sepakat dan berlangsung terus dan meluas bahkan sampai ke alam dewa.Para dewa,
yang tidak merasa puas sebelum masalah ini terpecahkan, menemui pemimpin
mereka, yaitu Dewa Sakka.Sebagai dewa yang bijaksana, Dewa Sakka memerintahkan
seorang dewa untuk menanyakan hal tersebut kepada Sang Buddha yang pada saat
itu sedang berdiam di Vihara Anathapindika di Jetavana dekat Savatthi.Lalu,
Sang Buddha pun mengkhotbahkan Mangala Sutta.
S. Tachibana dalam bukunya “The
Ethics of Buddhism” menyatakan : “Maha Mangala Sutta menunjukkan bahwa ajaran
Sang Buddha tidaklah selalu diberikan dalam bentuk negatif, tidak selalu dalam
bentuk seri klasifikasi dan analisis atau berkaitan semata-mata dengan
moralitas kebhikkhuan. Dalam sutta ini kita jumpai moralitas keluarga yang
dinyatakan dalam syair-syair yang paling indah.Kita dapat membayangkan
kehidupan rumah tangga yang penuh kebahagiaan yang dicapai sebagai hasil
pelaksanaan ajaran ini”.
(Isi sutta ini dapat dibaca pada
buku paritta)
2. Parabhava Sutta
Maha Mangala Sutta berisikan
petunjuk cara hidup yang mendorong kepada kemajuan dan kebahagiaan, sedangkan
Parabhava Sutta melengkapinya dengan menunjukkan sebab-sebab kejatuhan.
Barangsiapa membiarkan dirinya menjadi “suram” karena noda-noda tingkah laku
seperti tersebut dalam Sutta ini akan menghambat jalannya menuju kemajuan moral
maupun spiritual di dunia ini dan merendahkan segala sesuatu yang agung dan
manusiawi dalam dirinya. Akan tetapi, barangsiapa penuh waspada akan
bahaya-bahaya itu akan tetap membuka jalannya menuju 38 Berkah Tertinggi yang
dapat dicapai oleh manusia.
(Isi Sutta dapat dilihat pada
lampiran).
3. Vyagghapajja Sutta
Dalam Sutta ini Sang Buddha
memberikan petunjuk kepada para perumahtangga mengenai cara memelihara dan
menambah kemakmuran mereka dan cara menghindarkan kehilangan harta kekayaan.
Harta kekayaan semata-mata, bagaimanapun juga, tidaklah akan membuat seorang
manusia sempurna ataupun membuat masyarakat harmonis. Khotbah ini disampaikan
kepada Dighajanu, seorang Koliya, di kota Kakkarapatta (Vyagghapajja adalah
nama keluarga Dighajanu) yang memohon petunjuk kepada Sang Buddha tentang
ajaran yang membimbing manusia kepada kebahagiaan dalam kehidupan ini dan
kebahagiaan dalam kehidupan yang akan datang. Dinyatakan oleh Sang Buddha bahwa
terdapat empat syarat untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup sekarang ini,
yaitu :
a. Utthanasampada (usaha yang terus menerus)
b. Arakkhasampada (kewaspadaan)
c. Kalyanamitta (teman yang baik )
d. Sama-jivikata (penghidupan yang seimbang)
b. Arakkhasampada (kewaspadaan)
c. Kalyanamitta (teman yang baik )
d. Sama-jivikata (penghidupan yang seimbang)
Kemudian, untuk mencapai kebahagiaan
dalam hidup yang akan datang terdapat pula empat syarat :
a. Saddha-sampada (keyakinan)
b. Sila-sampada (moralitas)
c. Caga-sampada (kemurahan hati)
d. Pañña-sampada (kebijaksanaan)
b. Sila-sampada (moralitas)
c. Caga-sampada (kemurahan hati)
d. Pañña-sampada (kebijaksanaan)
B A B III
VINAYA KEBHIKKHUAN
VINAYA KEBHIKKHUAN
A. BHIKKHU
Bhikkhu adalah umat Buddha yang
melepaskan diri dari hidup keduniawian untuk berjuang sungguh-sungguh mencapai
Nibbana dalam kehidupan sekarang ini. Kata bhikkhu sering diterjemahkan sebagai
“pengemis” atau “peminta sedekah”, namun terjemahan itu tidaklah mencerminkan
pengertian sesungguhnya karena dalam hubungan itu seorang bhikkhu tidaklah
“meminta” melainkan “menerima” apa yang dipersembahkan kepadanya.
Perhimpunan para bhikkhu disebut
sangha.Kata sangha tidaklah semata-mata menunjukkan suatu kelompok bhikkhu,
namun lebih berarti sebagai para bhikkhu yang berkumpul untuk menjalankan suatu
fungsi/tugas (seperti halnya kuorum dari sejumlah anggota masyarakat yang
dibutuhkan untuk menentukan suatu tindakan).Jumlah bhikkhu yang membentuk
sebuah sangha ditentukan oleh fungsinya. Kebanyakan fungsi memerlukan sangha
dengan empat bhikkhu yang disebut catuvagga tetapi beberapa fungsi lainnya
memerlukan sangha dengan lima, sepuluh, atau dua puluh bhikkhu (pancavagga,
dasavagga, visativagga). Di tempat yang banyak terdapat bhikkhu diperlukan
untuk pelaksanaan upasampada. Akan tetapi di tempat yang terdapat sedikit
bhikkhu, hanya diperlukan lima bhikkhu.
Dapat dibedakan pula dua macam
sangha : Sammuti Sangha, yaitu perhimpunan para bhikkhu yang belum mencapai
tingkat kesucian dan Ariya Sangha, yaitu perhimpunan para bhikkhu (dan
upasaka/upasika) yang telah mencapai kesucian. Ariya Sangha inilah yang
termaksuk dalam Tiga Perlindungan (Tisarana) : Buddha – Dhamma – Sangha.
Sebelum menjadi bhikkhu, seorang
umat Bhuddha harus ditahbiskan terlebih dahulu menjadi samanera dengan upacara
pabbajja.Kata samanera berasal dari kata samana (pertapa) dan nera
(putera/kecil).Seorang samanera mengikuti bimbingan yang diberikan oleh
guru/bhikkhu pembimbing (upajjhaya) yang bertanggung jawab atas latihannya
dalam Dhamma dan Vinaya, sebagai persiapan untuk upasampada (upacara penerimaan
ke dalam sangha).Seorang samanera harus melatih diri dalam Dasasila dan 75 sila
Sekhiya (bagian dari Patimokkha). Setelah samanera diberi upasampada, ia
diterima ke dalam sangha sebagai seorang bhikkhu yang belum berpengalaman.
Upacara penerima seseorang menjadi
bhikkhu dapat dibedakan atas :
- Ehi-bhikkhu upasampada, yaitu penerimaan menjadi bhikkhu yang dilakukan oleh Sang Buddha sendiri dengan ucapan “Ehi bhikkhu” (Datanglah, bhikkhu).
- Tisaranagamanupasampada, yaitu penerimaan menjadi bhikkhu dengan pernyataan berlindung kepada Sang Tiratana oleh calon bhikkhu. Cara ini dilakukan oleh keenam puluh siswa Ariya Sang Buddha yang pertama yang diinstruksikan oleh Sang Buddha untuk membabarkan Dhamma ke segala penjuru.
- Ñatti-catutthakamma-upasampada, yaitu penerimaan menjadi bhikkhu yang dilakukan oleh sangha (yang terdiri atas minimal lima orang bhikkhu) di sima (suatu tempat dengan batas-batas yang ditentukan). Cara ini ditetapkan oleh Sang Buddha setelah agama Buddha telah demikian berkembang dan banyak orang yang ingin menjadi anggota sangha.
Cara kedua yaitu
Tisaranagamanupasampada yang tidak dilakukan lagi untuk penerimaan seseorang
menjadi bhikkhu, kemudian dilaksanakan untuk penerimaan seseorang menjadi
samanera (pabbajja), dan dilakukan oleh seorang bhikkhu senior (seorang Thera),
yang telah disepakati dalam Pasamuan.
Empat syarat harus dipenuhi untuk
pelaksanaan upasampada (yang dilakukan oleh sangha) :
- Vatthu-sampatti (kesempurnaan materi; dalam hal ini berarti orang yang akan ditahbiskan) :
- Harus seorang laki-laki (untuk menjadi bhikkhu)
- Harus mencapai usia 20 tahun (dihitung dari saat pembuahan)
- Tidak mempunyai cacat sebagai manusia, seperti orang kebiri, (atau cacat anggota tubuh dan sebagainya)
- Tidak pernah melakukan perbuatan kriminal yang serius yang termasuk pelanggaran berat seperti membunuh orang tua dan sebagainya.
- Tidak pernah melakukan pelanggaran serius menurut Buddha Sasana seperti pelanggaran parajika (ketika menjadi bhikkhu pada saat sebelumnya)
Selain
itu, ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang tidak dapat diterima menjadi
anggota sangha, yaitu : pencuri, perusuh, yang mendapat hukuman dari pengadilan
dengan reputasi buruk, mempunyai tatto di tubuh (sebagai tanda pernah dihukum
karena kejahatan), mempunyai jaringan parut bekas pukulan (hukuman pada zaman
dahulu), mempunyai kelainan anggota gerak atau penyakit kronis sehingga tidak
dapat melaksanakan tugas sebagai bhikkhu, mempunyai penyakit infeksi, yang
masih berada di bawah perlindungan orang lain (orang tua, pejabat pemerintah),
budak belian dan orang yang berhutang.
- Parisa-sampatti (kesempurnaan pasamuan : dalam hal ini jumlah bhikkhu yang diperlukan harus cukup yaitu minimal lima bhikkhu atau sesuai dengan jumlah yang ditetapkan oleh Pasamuan).
- Sima-sampatti (kesempurnaan batas, yang berarti bahwa semua bhikkhu yang berada dalam lingkungan Sima dan tidak mendapat undangan, tidak boleh melanggar batas Sima tersebut.
- Kammavaca-sampatti (kesempurnaan pernyataan) :
- Natti – sampatti (usul)
- Anusavana-sampatti (pengumuman)
Seorang calon bhikkhu harus dibawa
ke dalam Pasamuan oleh seorang bhikkhu yang dalam hal ini disebut upajjhaya.
Upajjhaya haruslah seorang bhikkhu yang mampu dan senior yang akan membimbing
bhikkhu baru tersebut setelah ditahbiskan dan juga yang akan memeriksa
kebutuhan bhikkhu (parikkhara).
Bhikkhu yang telah ditahbiskan
kurang dari lima vassa disebut navaka (“new one”) yang harus mempunyai
pembimbing seorang upajjhaya atau achariya dan hidup bersamanya. Navaka bhikkhu
tersebut menerima pelajaran dan petunjuk dari upajjhaya/achariya.Kata upajjhaya
berarti instruktur atau seorang yang “merawat”.Bhikkhu yang tergantung
kepadanya seperti tersebut di atas disebut saddhiviharika (“seorang yang hidup
dengan”).Cara ketergantungan ini disebut nissaya.Upajjhaya seyogyanya
menganggap saddhiviharika sebagai puteranya, sedangkan saddhiviharika
seyogyanya mempercayai upajjhayanya bagaikan kepada ayahnya.
Bhikkhu yang telah melaksanakan
vassa lebih dari lima kali namun kurang dari sepuluh kali disebut majjhima
(“one in the middle”). Ia dianggap telah mampu melindungi diri sendiri. Ia
dibolehkan terlepas dari nissaya dan dapat hidup sendiri (nissayamuttaka). Akan
tetapi, apabila belum mempunyai pengetahuan cukup mengenai Dhamma–Vinaya untuk
melindungi diri sendiri, ia tetap harus melaksanakan nissaya. Seorang bhikkhu
yang telah melaksanakan sepuluh vassa atau lebih disebut thera (“an elder who
is worthy of respect”).Ia mempunyai kemampuan untuk mengendalikan yang lainnya.
Ia dibolehkan menjadi upajjhaya (bila telah mendapat persetujuan dari Pasamuan)
dan memberikan upasampada, menjadi seorang achariya dan memberikan nissaya,
mempunyai samanera untuk merawatnya (yaitu dapat mentahbiskan seseorang untuk
menjadi samanera).
B. VINAYA
Pada saat permulaan perkembangan
agama Buddha jumlah bhikkhu masih sedikit.Oleh karena itu, peraturan untuk
pengendalian sangha tidak begitu diperlukan. Semua savaka (siswa) melaksanakan
dan mengikuti jejak Sang Buddha dan mengetahui dengan baik ajaran Sang Buddha.
Ketika jumlah bhikkhu makin bertambah dan tersebar di mana-mana, peraturan
untuk pengendalian para bhikkhu menjadi lebih diperlukan. Dalam rangka
pembinaan itu, sebagai “Raja Dhamma” yang bertugas “memerintah”, Sang Buddha
menetapkan peraturan dan hukum yang disebut Buddhapaññati – untuk mencegah
kelakuan yang salah dan memperingatkan para bhikkhu akan pelanggaran yang
mungkin dilakukan, bahwa yang ini adalah pelanggaran berat, yang itu ringan dan
sebagainya. Di samping itu, sebagai “Ayah Sangha”, Sang Buddha menyusun
kebiasaan tingkah laku yang baik yang disebut Abhisamacara untuk mendorong para
bhikkhu bersikap tepat, sebagaimana seorang ayah yang terhormat yang mendidik
anak-anaknya untuk mengikuti tradisi keluarga.
Buddhapaññati dan Abhisamacara
disebut Vinaya. Vinaya dapat diibaratkan bagaikan benang yang mengikat
bunga-bunga menjadi suatu rangkaian, dengan cara demikian pula vinaya membantu
membentuk bhikkhu sangha yang kuat. Selain itu, mereka yang ditahbiskan menjadi
bhikkhu berasal dari keluarga yang tinggi, menengah bahkan rendah serta berbeda
dalam sifat dan kasta. Apabila tidak ada vinaya untuk mengendalikan mereka atau
apabila mereka tidak mematuhi vinaya, maka mereka akan merupakan masyarakat
bhikkhu yang tidak baik dan hal ini tidak mendorong untuk timbulnya saddha dan
pasada (keyakinan yang bijaksana dan kejernihan pandangan pada orang lain).
Apabila para bhikkhu mematuhi vinaya, maka mereka akan menjadi masyarakat yang
baik yang mendorong timbulnya saddha dan pasada pada orang lain. Bagaikan bunga
berbagai jenis yang ditaruh di jambangan, meskipun ada yang indah dan cantik,
akan tampak tidak menarik karena tercampur bersama. Akan tetapi, apabila
bunga-bunga itu dirangkai oleh seorang ahli, maka akan tertampak indah dan
sekalipun bunga yang sederhana akan tampak menarik, apalagi yang indah dan
cantik. Peraturan vinaya sesungguhnyalah membuat para bhikkhu menjadi agung dan
mulia.
Vinaya ditetapkan menurut sebab yang
disebut nidana dan pakarana (asal mula dan cerita), tidak ditetapkan sebelumnya
tanpa suatu sebab yang menimbulkannya.Apabila suatu perbuatan tercela terjadi
oleh perbuatan salah bhikkhu, maka kemudian Sang Buddha menetapkan peraturan
latihan. Demikian pula, Abhisamacara ditetapkan dengan cara yang sama.
Peraturan latihan yang ditetapkan
sebagai hukum merupakan adibrahmacariya-sikkha (latihan utama dalam kehidupan
suci) dan yang ditetapkan sebagai abhisamacara merupakan abhisamacara-sikkha
(latihan lebih tinggi dalam tingkah laku benar). Yang pertama berisikan
Patimokkha yang diperkenankan oleh Sang Buddha untuk dibacakan setiap dua
minggu sekali, sedangkan yang kedua adalah di luar Patimokkha kecuali
Sekhiyavatta (75 latihan) yang terdapat dalam Patimokkha. Patimokkha terdiri atas
227 sila :
- Parajika 4
- Sanghadisesa 13
- Aniyata 2
- Nissagiya Pacittiya 30
- Suddhika Pacittiya 92
- Patidesaniya 4
- Sekhiyavatta 75
- Adhikarana-samatha 7
- Sanghadisesa 13
- Aniyata 2
- Nissagiya Pacittiya 30
- Suddhika Pacittiya 92
- Patidesaniya 4
- Sekhiyavatta 75
- Adhikarana-samatha 7
Pelanggaran atas peraturan latihan
yang menyebabkan seorang bhikkhu mendapat hukuman disebut apatti. Ditinjau dari
akibatnya, apatti terbagi atas dua macam :
- Atekiccha (“incurable”) yang merupakan pelanggaran yang tidak dapat diperbaiki lagi dan menyebabkan seorang bhikkhu “terkalahkan”, harus keluar dari kebhikkhuan (“lepas jubah”) dan tidak dapat ditahbiskan menjadi bhikkhu lagi sepanjang sisa hidupnya; merupakan pelanggaran berat (garukapatti) yang terdiri atas pelanggaran parajika 4 (melakukan hubungan kelamin, mencuri, membunuh, berbohong dengan menyatakan diri mempunyai kesaktian yang sebenarnya tidak dimilikinya).
- Satekiccha (“curable”) yang merupakan pelanggaran yang dapat diperbaiki dan mencakup :
- Pelanggaran sedang (majjhimapatti) yaitu pelanggaran sanghadisesa 13 yang untuk pembersihannya bhikkhu bersangkutan harus mengakui kesalahannya di hadapan sangha (20 bhikkhu) dan melakukan manatta (mawas diri selama enam malam penuh di tempat tersendiri), untuk kemudian direhabilitasi oleh sangha dengan minimal 20 bhikkhu.
- Pelanggaran ringan (lahukapatti) yang untuk
pembersihannya bhikkhu bersangkutan harus mengakui kesalahannya di
hadapan seorang bhikkhu (atau lebih), dan mempunyai kategori berbeda-beda
dari yang lebih berat sampai yang paling ringan :
- Thullaccaya
- Pacittiya
- Patidesaniya
- Dukkata
- Dubbasita
Tidak termasuk apatti apabila baru timbul
dalam pikiran, misalnya hanya berpikir : “Saya akan melakukan ini dan itu”. Ini
tidak termasuk pelanggaran peraturan latihan dan tidak dianggap sebagai usaha
untuk melanggar.Termasuk apatti apabila dilakukan melalui badan jasmani atau
perkataan, atau kadang-kadang disertai pikiran dalam arti seseorang berbuat
atau berkata dengan kehendak (sacittaka), atau tanpa kehendak (acittaka).
Sebagai contoh, suatu apatti dapat terjadi melalui badan jasmani apabila
seorang bhikkhu meminum minuman yang memabukkan, sekalipun ia tidak mengetahui
sebelumnya bahwa minuman itu memabukkan.
Mereka yang ingin melaksanakan
vinaya untuk mencapai keberhasilan seharusnyalah meneliti dengan seksama maksud
vinaya. Beberapa peraturan latihan dan beberapa bagian abhisamacara ditetapkan
oleh Sang Buddha untuk mencegah bhikkhu melakukan perbuatan melanggar hukum
seperti mencuri atau membunuh. Beberapa ditetapkan untuk mencegah bhikkhu
mendapatkan penghidupan melalui perbuatan menipu, misalnya melalui sugesti
adanya kesaktian/kegaiban. Juga ditetapkan untuk mencegah bhikkhu dari
perbuatan memukul atau memaki dan lebih jauh lagi untuk mencegah kebiasaan
buruk berbohong, memfitnah, bicara kosong, minum-minum; mencegah ketidaksopanan
seperti mendengarkan pembicaraan orang; atau mencegah tingkah laku
kekanak-kanakan seperti menggelitik dengan jari, bermain dalam air, atau
menyembunyikan perlengkapan bhikkhu lain. Kadang-kadang pula suatu peraturan
ditetapkan berdasarkan kepercayaan penduduk pada waktu itu, atau sesuai dengan
kemudahan atau kebiasaan orang yang hidup menyendiri.
Secara ringkas seorang bhikkhu harus
mematuhi bhikkhu-sila yaitu empat macam kesucian moral bhikkhu (caturparisuddhi
sila) :
- Patimokkhasamvarasila : moralitas yang terdiri atas menahan diri berkenaan dengan tata tertib bhikkhu yang berjumlah 227 sila Patimokkha.
- Indriyasamvarasila : moralitas yang terdiri atas menahan diri dalam indriya.
- Ajiva-parisuddhi-sila : moralitas yang terdiri atas kesucian penghidupan.
- Paccaya-sannissita-sila : moralitas yang berkenaan dengan empat macam kebutuhan pokok bhikkhu.
Menurut Sang Buddha, ada empat jenis
bhikkhu di dunia ini (Cunda Sutta, Sutta Nipata):
1. Maggajina : Penakluk Jalan – yaitu Sang Buddha.
2. Maggadesaka : Guru dari Jalan.
3. Maggajiva : Yang hidup pada Jalan.
4. Maggadusaka : Yang mengotori Jalan – orang yang berpura-pura sebagai bhikkhu yang menyalahtafsirkan Ajaran dan berbuat bertentangan dengan Jalan.
2. Maggadesaka : Guru dari Jalan.
3. Maggajiva : Yang hidup pada Jalan.
4. Maggadusaka : Yang mengotori Jalan – orang yang berpura-pura sebagai bhikkhu yang menyalahtafsirkan Ajaran dan berbuat bertentangan dengan Jalan.
C. CATATAN : BHIKKHUNI
Wanita diperkenankan oleh Sang
Buddha untuk menjadi bhikkhuni pada tahun kelima setelah Penerangan Sempurna.
Ketika itu Sang Buddha berkunjung ke Kapilavatthu untuk menjenguk ayahnya, Raja
Suddhodana yang sedang sakit keras. Sang Buddha memberikan khotbah kepada
ayah-Nya dan setelah mendengarkan khotbah tersebut Raja Suddhodana mencapai
tingkat Arahat.Tujuh hari setelah menikmati kedamaian Nibbana, Raja Suddhodana
wafat.
Setelah itu, Sang Buddha mendamaikan
perselisihan antara negara Sakya dan negara Koliya perihal air sungai Rohini.
Ratu Maha Pajapati bersama lima ratus wanita yang suaminya menjadi bhikkhu
memohon kepada Sang Buddha untuk dapat ditahbiskan menjadi bhikkhuni.
Permohonan ini ditolak oleh Sang Buddha sampai tiga kali. Kemudian Sang Buddha
kembali ke Vesali (yang berjarak 200-300 mil dari Kapilavatthu). Sementara itu,
Ratu Maha Pajapati dan lima ratus wanita itu tidak berputus asa, memotong
rambut dan memakai jubah kuning, lalu mengikuti perjalanan Sang Buddha ke
Vesali dengan berjalan kaki. Kembali Sang Buddha menolak sampai tiga kali.
Akhirnya, melalui Ananda Sang Buddha memperkenankan mereka menjadi bhikkhuni
apabila bersedia menerima delapan aturan keras (Garudhamma), yaitu :
- Seorang bhikkhuni, meskipun sudah ditahbiskan selama seratus tahun, harus menyambut dengan sopan, berdiri dari tempat duduknya, memberi hormat dengan kedua tangan dirangkapkan di dada kepada seorang bhikkhu yang baru saja ditahbiskan. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
- Seorang bhikkhuni tidak boleh menjalankan vassa di tempat, yang tidak terdapat seorang bhikkhu. Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
- Setiap setengah bulan seorang bhikkhuni harus memohon dua hal dari Sangha para bhikkhu, yaitu (tanggal dan) hari untuk melakukan latihan dan hari untuk mendapatkan nasehat-nasehat (tegoran-tegoran). Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
- Setelah vassa seorang bhikkhuni harus memohon kepada Sangha para bhikkhu dan Sangha para bhikkhuni untuk mendapat tegoran dan peringatan tentang apa yang dilihat, didengar dan dicurigai. Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
- Seorang bhikkhuni yang melakukan pelanggaran harus menjalani hukuman (manatta) selama setengah bulan lamanya di Sangha para bhikkhu dan di Sangha para bhikkhuni. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
- Selesai menjalankan masa percobaan selama dua tahun seorang calon bhikkhuni harus mohon ditahbiskan menjadi bhikkhuni dari Sangha para bhikkhu dan dari Sangha para bhikkhuni. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
- Seorang bhikkhu tidak boleh dicaci-maki atau dihina dengan cara apapun juga oleh seorang bhikkhuni. Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
- Mulai hari ini seorang bhikkhuni dilarang memperingati (menegor) seorang bhikkhu, sebaliknya seorang bhikkhu tidak dilarang untuk memperingati (menegor) seorang bhikkhuni. Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
Dengan gembira Ratu Maha Pajapati
menerima aturan tersebut dan ditahbiskan menjadi bhikkhuni yang pertama.
Demikian pula ditahbiskan lima ratus wanita lainnya. Dalam perkembangan
selanjutnya Sang Buddha menetapkan pula peraturan latihan yang berlaku khusus
untuk bhikkhuni. Dalam keseluruhannya seorang bhikkhuni harus mematuhi 311
sila, sedangkan seorang bhikkhu harus mematuhi 227 sila.
B A B IV
BEBERAPA ASPEK VINAYA
BEBERAPA ASPEK VINAYA
A. Kebutuhan Bhikkhu
Terdapat empat kebutuhan pokok
bhikkhu yaitu pakaian, makanan, tempat tidur dan obat.Empat kebutuhan pokok ini
hendaknya dapat disediakan oleh umat Buddha.Selain itu, terdapat
kebutuhan-kebutuhan kecil lainnya seperti alat tulis/buku-buku, keperluan mandi
dan sikat gigi, pisau cukur dan sebagainya. Secara khusus dinyatakan
(Apanidhana-sikkhapada, Surapanavagga ke-10 dalam Pacittiya) bahwa benda-benda
yang menjadi perlengkapan bhikkhu adalah : sebuah mangkuk, tiga jubah, sebuah
nisidana (kain untuk duduk), kotak jarum jahit dan ikat pinggang. Termasuk pula
dalam perlengkapan bhikkhu yaitu saringan air.Keperluan ini bertambah dengan
berlalunya waktu.
Jubah bhikkhu disebut civara dan
terdiri atas tiga bagian : Sanghati (jubah luar), Uttarasanga (jubah atas) dan
Antaravasaka (jubah bawah). Seseorang yang ingin mendapat upasampada harus
memiliki satu perangkat lengkap civara.Civara berwarna kuning kecoklatan (pada
waktu dahulu warna tersebut didapatkan dengan mencelupkan jubah dalam larutan
getah dari beberapa jenis pohon yang disebut kasava/kasaya.Civara dijahit
menurut pola sawah Magadha yang diajukan oleh Yang Ariya Ananda.
Pola “Five-khanda Civara” dari
sebelah dalam
1. atthamandala giveyyaka
2. mandala vivatta
3. atthamandala jangheyyaka
4. mandala anuvivatta
5. atthamandala bahanta
6. mandala anuvivatta
7. atthakusi
8. kusi
9. anuvata
10. loops
11. tags
(Diambil dari The Entrance to Vinaya Vol. II)
2. mandala vivatta
3. atthamandala jangheyyaka
4. mandala anuvivatta
5. atthamandala bahanta
6. mandala anuvivatta
7. atthakusi
8. kusi
9. anuvata
10. loops
11. tags
(Diambil dari The Entrance to Vinaya Vol. II)
“Waktu
yang tepat” untuk bhikkhu (dan samanera) untuk makan mulai pada saat pagi hari
ketika cahaya sudah cukup terang untuk melihat garis pada telapak tangan dan
berakhir pada tengah hari.Dalam jangka waktu ini seorang bhikkhu dapat makan
sekali atau dua kali. Bila hanya sekali maka jumlah yang dimakan harus cukup
untuk 24 jam, sedangkan apabila dua kali maka makan yang kedua dilakukan pada
jam sebelas lebih seperempat agar dapat selesai sebelum tengah hari. Terdapat
sedikit sekali pembatasan dalam makanan yang dimakan, misalnya tidak boleh
memakan daging hewan tertentu (anjing, ular, macan, beruang, hyaena), dan
daging manusia.Daging hewan lainnya dapat dimakan dengan syarat bhikkhu
bersangkutan tidak melihat, mendengar atau tahu bahwa hewan itu disembelih
untuknya. Hal ini dapat dimengerti karena seorang bhikkhu tidak boleh meminta
makanan kepada orang lain (kecuali dalam keadaan sakit) – sebaliknya hanya
menerima apa yang diberikan tanpa membeda-bedakan. Kebiasaan bhikkhu adalah
menerima apa saja yang diberikan oleh umat sesuai dengan apa yang dimiliki oleh
umat tersebut sehingga tidak menyulitkan umat.
Makanan dapat diperoleh melalui
pindapata (bhikkhu berjalan dari rumah ke rumah untuk menerima makanan yang
dipersembahkan, lalu kembali ke vihara untuk makan makanan tersebut).Dapat pula
bhikkhu menerima makanan melalui persembahan umat kepada vihara/tempat bhikkhu
berdiam, atau melalui undangan dari umat kepada bhikkhu untuk makan di rumah
umat.Dalam hal terakhir ini perlu diperhatikan bahwa hidangan untuk bhikkhu
harus disajikan tersendiri, terpisah dengan hidangan untuk samanera maupun umat
lainnya.Selain itu, setiap hidangan yang disajikan harus dipersembahkan secara
“formal” kepada bhikkhu dan setelah bhikkhu menerima barulah makanan itu dapat
dimakan (persembahan kepada bhikkhu hendaknya dilakukan dengan kedua tangan).
Setelah selesai bersantap bhikkhu membacakan secara singkat beberapa syair
keberkahan untuk umat yang diakhiri dengan misalnya : “Ayu vanno sukham balam”
(panjang umur, kecantikan, kebahagiaan dan kekuatan). Sementara itu, umat
bersikap anjali dan mengucapkan “sadhu, sadhu, sadhu” setelah selesai pembacaan
tersebut.
Seorang bhikkhu tidak boleh minum
minuman yang disuling atau diragi (sura-meraya-majja), kecuali dalam jumlah
sedikit untuk keperluan pengobatan. Sebelum tengah hari segala macam minuman
dapat dipersembahkan, dengan atau tanpa susu. Sesudah tengah hari tidak
diperkenankan lagi minum susu, atau minuman lain yang mengandung susu, telur,
kacang-kacangan, atau sup. Teh, kopi, coklat (semuanya tanpa susu), “juice”
buah (yang disaring), dan “soft drink” dapat diminum pada waktu sore dan malam
hari (buah yang di “juice” tidak lebih besar dari kepalan tangan).
Mangkok untuk menerima persembahan
makanan dapat terbuat dari tanah atau besi.Tidak dibolehkan untuk memakai
mangkuk dari emas, perak, permata, tembaga, kayu dan sebagainya karena beberapa
alasan.Kotak jarum tidak boleh terbuat dari tulang, gading atau tanduk; yang
dibolehkan adalah dari kayu atau logam.Saringan air dapat dibuat dari sepotong
kain atau silinder kosong (bambu atau logam) yang di bawahnya dilekatkan
kain.Menjadi kebiasaan bhikkhu untuk minum air yang telah disaring. Tidak
dibolehkan seorang bhikkhu melakukan perjalanan ½ yojana (1 yojana = 10 mil/16
km) tanpa membawa saringan air.
Umumnya para bhikkhu tinggal di
vihara.Apabila di tempat yang dikunjunginya tidak terdapat vihara, bhikkhu
dapat tinggal di rumah umat.Dalam hal ini disediakan satu ruangan tersendiri
yang di dalamnya terdapat altar Sang Buddha/cetiya. Lebih baik lagi bila
terdapat bangunan tersendiri yang terpisah di taman. Ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan. Seorang bhikkhu tidak boleh tidur di ruangan yang sama
dengan seseorang yang belum sepenuhnya ditahbiskan, kecuali untuk masa tiga
malam. Selain itu seorang bhikkhu harus menjauhkan diri dan tidak bersentuhan
dengan wanita (sekalipun anak-anak), tidak boleh pula menyentuh pakaian dan
perhiasan wanita, bahkan hewan betina, boneka ataupun uang. Termasuk
benda-benda yang tidak boleh disentuh pula adalah : buah-buahan (yang tumbuh di
pohon), senjata, racun (kecuali diresepkan sebagai obat), jala dan jerat, benih
dan alat-alat musik.
B. Penghormatan
Tingkah laku yang menunjukkan
kerendahan hati pada lainnya merupakan hal yang baik dan terpuji (untuk bhikkhu
dan umat). Ada beberapa cara penghormatan yang diperkenankan oleh Sang Buddha :
- Vandana (berlutut – “menunjukkan penghormatan dengan lima titik” – dahi, kedua lengan bawah, kedua lutut).
- Uttana (berdiri untuk menyambut).
- Anjali (merangkap kedua telapak tangan untuk menghormat).
- Samicikamma (cara-cara lain yang baik dan terpuji untuk menunjukkan kerendahan hati).
Menjadi kebiasaan bhikkhu untuk
tidak melakukan anjali kepada kelompok lain yaitu kepada mereka yang tanpa
upasampada atau kepada bhikkhuni (meskipun dengan upasampada). Di antara
bhikkhu, bhikkhu yang lebih junior melakukan anjali kepada yang lebih senior,
dan tidak sebaliknya. Bhikkhu yang lebih senior menyebut bhikkhu yang junior
dengan “avuso” (“one who has long life”) sedangkan bhikkhu yang junior menyebut
bhikkhu yang lebih senior dengan “bhante” (“the venerable one who has
developed”).
Dapat pula bhikkhu menyebut bhikkhu lainnya dengan memakai istilah penghormatan “Ayasma” sebelum nama, misalnya Ayasma Upali. Istilah ini digunakan untuk menyebut bhikkhu yang senior dan di antara mereka yang hampir setingkat.Ini masih digunakan sampai saat ini.
Dapat pula bhikkhu menyebut bhikkhu lainnya dengan memakai istilah penghormatan “Ayasma” sebelum nama, misalnya Ayasma Upali. Istilah ini digunakan untuk menyebut bhikkhu yang senior dan di antara mereka yang hampir setingkat.Ini masih digunakan sampai saat ini.
Cara penghormatan yang sama
dilakukan oleh umat kepada bhikkhu. Umumnya bhikkhu akan menerima penghormatan
tersebut dengan mengatakan : “Sukhi hotu” – Semoga engkau berbahagia (di Sri
Lanka) atau “Ayu vanno sukham balam” (di Muangthai). Sang Buddaha sendiri tidak
pernah menetapkan bahwa bentuk penghormatan begini atau begitu harus dilakukan
kepada para bhikkhu. Dalam hubungan penghormatan ini perlu kiranya diingat
bahwa sipelakulah – bukan si penerima – yang akan mendapat manfaat dengan
memberikan penghormatan kepada yang patut dihormat karena hal itu merupakan
suatu perbuatan baik dan akan mengembangkan puñña pada si pelaku.
“Pada mereka yang senantiasa menghormat
pada orang yang lebih tua
akan bertambah empat hal :
panjang umur, kecantikan, kebahagiaan, kekuatan”
pada orang yang lebih tua
akan bertambah empat hal :
panjang umur, kecantikan, kebahagiaan, kekuatan”
(Dhammapada 109)
C. Uposatha
Kata uposatha berarti “masuk untuk
berdiam”; dalam hal ini berarti kepatuhan kepada sila.Uposatha merupakan
istilah yang dipakai untuk pelaksanaan suatu upacara keagamaan yang ketat yang
berhubungan dengan menahan diri (“puasa”). Ini merupakan kebiasaan yang telah
ada sebelum Sang Buddha, dilakukan pada hari bulan purnama dan bulan gelap,
atau dilakukan pada tanggal 1, 8, 15, 22 sesuai dengan penanggalan bulan. Sang
Buddha menyetujui kebiasaan tersebut dan memperkenankannya untuk dipergunakan
sebagai hari untuk bertemu bersama membicarakan dan mendengarkan Dhamma dan
merupakan kesempatan untuk pelaksanaan uposatha bagi umat (atthanga uposatha
sila). Sehubungan dengan pertemuan para bhikkhu, Sang Buddha mengizinkan mereka
melakukan uposatha pada tanggal 1 dan 15 penanggalan bulan.
Pada saat-saat awal perkembangan
agama Buddha, Sang Buddha sendiri yang memberikan ajaran pada pertemuan Sangha
dan meningkatkan kebajikan yang merupakan inti dari Sasana dan menjelaskanya,
seperti terdapat dalam Ovada-Patimokkha. Kemudian, Sang Buddha memberikan izin
kepada sangha untuk melakukan uposatha sendiri. Dalam setiap pertemuan suatu
kelompok bhikkhu, seorang bhikkhu akan membacakan peraturan latihan yang
disebut Patimokkha. Ini dilakukan apabila terdapat empat orang bhikkhu atau
lebih.Apabila hanya terdapat dua atau tiga bhikkhu, mereka disebut gana
(“group”). Mereka dibolehkan memberitahukan satu sama lain tentang “kemurnian”
mereka masing-masing. Bila hanya terdapat seorang bhikkhu, ia disebut puggala
(seorang) dan ia harus membuat addhitthana atau tekad oleh dirinya sendiri.
Dalam tiap vihara (yang mempunyai
sima) harus terdapat sebuah bangunan untuk uposatha bagi sekurang-kurangnya dua
puluh satu orang bhikkhu.Tempat itu disebut Uposathagara.
D. Vassa
Orang-orang zaman dahulu terbiasa
untuk tidak bepergian ke mana-mana selama musim hujan karena jalan-jalan pada
saat itu berlumpur dan tidak sesuai untuk melakukan perjalanan. Ketika jumlah
bhikkhu berkembang pesat, Sang Buddha menetapkan peraturan bahwa bhikkhu harus
berdiam di suatu tempat selama musim hujan (vassa) dan tidak pergi ke tempat
lain selama tiga bulan. Hari pertama untuk pelaksanaan tersebut disebut
vassupanayika yaitu setelah bulan purnama melewati satu hari dalam bulan Asalha
(hari pertama pada bulan ke delapan). Bulan keempat dari musim hujan
dipergunakan oleh para bhikkhu untuk “waktu civara”, untuk mencari civara, atau
untuk membuat civara, atau untuk mengganti civara yang lama. Pada saat itu
hujan umumnya telah mereda.
Saat vassa merupakan saat untuk para
bhikkhu melakukan “samanadhamma” (dhamma untuk seseorang yang membuat dirinya
damai – yaitu pelaksanaan meditasi ketenangan dan pandangan terang).Bhikkhu
yang melaksanakan vassa harus berdiam di suatu tempat tertentu yang mempunyai
batas-batas tertentu sampai hari Pavarana dilalui. Apabila seorang bhikkhu mempunyai
urusan penting yang harus diselesaikan, Sang Buddha memberikan izin untuk pergi
tetapi bhikkhu itu harus kembali dalam waktu tujuh hari. Apabila waktu tujuh
hari terlampaui, maka pelaksanaan vassa menjadi gagal. Beberapa hal yang
menyebabkan seorang bhikkhu dapat pergi adalah :
- Jika teman Dhamma (bhikkhu dan samanera), atau ibu dan ayah, sakit, maka seorang bhikkhu dapat pergi untuk merawatnya.
- Jika teman Dhamma ingin lepas jubah (karena “godaan seksual”), maka seorang bhikkhu dapat pergi untuk memadamkan keinginan tersebut.
- Jika terdapat beberapa tugas dari Sangha yang harus dikerjakan seperti kerusakan vihara, maka seorang bhikkhu dapat pergi untuk mencari bahan guna perbaikan.
- Jika donatur ingin meningkatkan kebajikan mereka (kusala) dan mengundang bhikkhu, maka seorang bhikkhu dapat pergi untuk mendukung keyakinan mereka.
Bagi para bhikkhu yang telah
melaksanakan vassa selama tiga bulan penuh, terdapat izin dari Sang Buddha
untuk melaksanakan pavarana (upacara pengakhiran vassa) sebagai ganti uposatha
pada saat purnama pada bulan Katthika. Pavarana biasanya dilakukan pada tanggal
lima belas. Apabila Sangha tidak melakukan pavarana pada hari itu, upacara
tersebut dapat ditunda dalam jangka waktu dua minggu atau satu bulan, atau pada
hari-hari lainnya. Jumlah bhikkhu yang menghadiri pertemuan sekurang-kurangnya
lima bhikkhu. Pavarana merupakan kesempatan bagi semua bhikkhu untuk saling
mengingatkan satu sama lain.
E. Hubungan antara bhikkhu dan umat.
Hubungan antara bhikkhu dan umat
merupakan hubungan yang bersifat moral-religius dan bersifat timbal balik,
sebagaimana telah dijelaskan oleh Sang Buddha dalam Sigalovada Sutta :
- Umat hendaknya menghormati bhikkhu dengan membantu dan memperlakukan mereka dengan perbuatan, perkataan dan pikiran yang baik, membiarkan pintu terbuka untuk mereka dan memberikan makanan serta keperluan yang sesuai untuk mereka.
- Bhikkhu mempunyai kewajiban kepada umat : melindungi dan mencegah mereka dari melakukan perbuatan jahat, memberi petunjuk untuk melakukan perbuatan baik, mencintai mereka dengan hati yang baik, menerangkan Ajaran yang belum didengar atau diketahui, menjelaskan apa yang belum dimengerti, dan menunjukkan Jalan untuk menuju pembebasan.
Bhikkhu tidak mempunyai “kekuasaan”
terhadap umat dan tidak memberikan “sanksi” kepada umat. Namun, kepada umat
yang berbuat tidak pantas atau melakukan penghinaan terhadap Dhamma-Vinaya,
maka bhikkhu akan “berpaling” dari mereka dengan tidak menerima segala
persembahannya. Dengan demikian, umat tersebut dianggap tidak pantas mempersembahkan
sesuatu kepada bhikkhu (atau sangha) sehingga umat itu kehilangan kesempatan
yang baik untuk melakukan perbuatan baik atau jasa.Sebaliknya, umat pun dapat
“berpaling” dari bhikkhu yang melakukan perbuatan melanggar Dhamma-Vinaya
dengan tidak melayani atau memberikan persembahan kepadanya.
Ada beberapa hal mengenai
kebhikkhuan yang perlu kiranya diketahui oleh umat Buddha.Dalam hubungannya
dengan wanita, seorang bhikkhu tidak boleh dengan nafsu indriya menyentuh
seorang wanita (Sanghadisesa ke-2) dan tidak boleh pula duduk berdua dengan
wanita di tempat tertutup (Pacittiya ke-44). Sang Buddha mengajarkan kepada
Yang Ariya Ananda (Maha Parinibbana Sutta) :
“Janganlah melihat kepada seorang wanita;
Kalau mesti juga, maka janganlah berbicara dengannya;
Kalau mesti juga, maka berbicaralah tentang Dhamma dan Sila dan sebutlah Sang Buddha dengan segala kekuatan batinmu”.
Kalau mesti juga, maka janganlah berbicara dengannya;
Kalau mesti juga, maka berbicaralah tentang Dhamma dan Sila dan sebutlah Sang Buddha dengan segala kekuatan batinmu”.
Selain itu, bhikkhu tidak boleh pula
menjadi perantara dalam hubungan perjodohan antara pria dan wanita
(Sanghadisesa ke-5).
Bhikkhu tidak boleh menumpuk
kekayaan emas, perak dan lain-lain (Nissagiya Pacittiya ke-18), atau terlibat
dalam perdagangan atau jual-beli (Nissagiya Pacittiya ke-20).Ia tidak boleh
berbohong (Pacittiya ke-1), tidak boleh mencaci-maki (Pacittiya ke-2) atau memfitnah
(Pacittiya ke-3), tidak boleh pula menjawab secara menghindar dan menimbulkan
kusulitan dengan berdiam diri (Pacittiya ke-12). Selain itu, ia melatih diri
untuk tidak menonton pertunjukan/nyanyian/tarian dan segala sesuatu yang
membawanya ke arah kenikmatan indriya. Ia melatih diri untuk tidak
mempergunakan tempat tidur atau tempat istirahat yang mewah dan membatasi
kebutuhan hidup sesederhana mungkin.
Hendaknya bhikkhu tidak menolak
persembahan yang dibutuhkan, mengambil sikap atau mengatur tingkah laku
seseorang, menyalahgunakan hak, mempersalahkan orang lain atau memperolok,
mencapai sesuatu dengan menyiarkan kabar bohong atau memfitnah, berlomba
mencari barang-barang lahiriah dengan barang-barang lahiriah (Visudhi Magga).
Juga ia tidak demi penghidupannya, meramal dengan melihat suratan tangan,
meramal sesuatu yang akan terjadi, penujuman, mempersembahkan korban,
mendapatkan jawaban sabda para dewa, dan berpraktek sebagai “dokter” – yang
merupakan tipu daya rendah untuk mendapatkan penghidupan (Digha Nikaya, I).
K E P U S T A K A A N
Budhiarta dan Dharma K. Widya (ed). Ikhtisar Tipitaka. Jakarta : Akademi Buddhis Nalanda
Budhiarta dan Dharma K. Widya (ed). Ikhtisar Tipitaka. Jakarta : Akademi Buddhis Nalanda
Khantipalo.Banner of the Arahants.Kandy
: Buddhist Publication Society, 1979.
—-. The Buddhist Monk’s
Discipline.Kandy :Buddhist Publication Society, 1969.
Nadara Mahathera. The Buddha and
His Teaching.
Kuala Lumpur : The Buddhist Missionary Society, edisi ke-3, 1977.
Kuala Lumpur : The Buddhist Missionary Society, edisi ke-3, 1977.
—-. Everyman’s Ethic.Kandy :
Buddhist Publication Society, 1979.
Vajirañanavarorasa.The Entrance
to the Vinaya Vol. I.
Bangkok : Mahamakutarajavidyalaya, 1969.
Bangkok : Mahamakutarajavidyalaya, 1969.
—-. The Entrance to the Vinaya
Vol. II.
Bangkok : Mahamakutarajavidyalaya, 1969.
Bangkok : Mahamakutarajavidyalaya, 1969.
Widyadharma, S. Riwayat Hidup
Buddha Gotama.
Jakarta : Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda, 1979.
Jakarta : Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda, 1979.
LAMPIRAN
PARABHAVA SUTTA
Demikianlah telah kudengar.Pada
suatu kali Sang Buddha sedang berdiam di Vihara Anathapindaka, di hutan Jeta
dekat Savatthi. Ketika menjelang fajar seorang dewa dengan cahayanya yang
cemerlang menerangi seluruh hutan Jeta, datang ke hadapan Sang Buddha, mendekat
dan memberi hormat, berdiri di satu sisi lalu berkata :
Dewa :
Mohon kiranya kami diberi petunjuk, O Sang Buddha, tentang kejatuhan manusia. Sudilah kiranya ceritakan kepada kami sebab-sebab kejatuhan.
Mohon kiranya kami diberi petunjuk, O Sang Buddha, tentang kejatuhan manusia. Sudilah kiranya ceritakan kepada kami sebab-sebab kejatuhan.
Sang Buddha :
Mudah diketahui orang-orang yang dalam kemajuan.
Mudah diketahui orang-orang yang dalam kejatuhan.
Barang siapa mencintai Dhamma akan mendapat kemajuan.
Barang siapa mengingkari Dhamma akan mendapat kejatuhan.
Mudah diketahui orang-orang yang dalam kemajuan.
Mudah diketahui orang-orang yang dalam kejatuhan.
Barang siapa mencintai Dhamma akan mendapat kemajuan.
Barang siapa mengingkari Dhamma akan mendapat kejatuhan.
Dewa :
Kini kami telah mengetahui.
Inilah sebab pertama kejatuhan.
Sudilah kiranya menceritakan kepada kami sebab kedua (Kata-kata ini diulang setiap akhir syair-syair berikut, dengan nomor berurutan).
Kini kami telah mengetahui.
Inilah sebab pertama kejatuhan.
Sudilah kiranya menceritakan kepada kami sebab kedua (Kata-kata ini diulang setiap akhir syair-syair berikut, dengan nomor berurutan).
Sang Buddha :
Menyukai orang-orang yang jahat,
tidak menyenangi orang-orang yang bajik,
lebih menyukai cara-cara yang dilakukan orang yang jahat,
inilah sebab kejatuhan.
Menyukai orang-orang yang jahat,
tidak menyenangi orang-orang yang bajik,
lebih menyukai cara-cara yang dilakukan orang yang jahat,
inilah sebab kejatuhan.
Sangat menyenangi tidur,
menyukai kumpul-kumpul,
lamban, malas dan mudah marah,
inilah sebab kejatuhan.
menyukai kumpul-kumpul,
lamban, malas dan mudah marah,
inilah sebab kejatuhan.
Meskipun dalam keadaan sejahtera,
tetapi tidak menyokong ayah dan ibu
yang sudah tua dan lemah,
inilah sebab kejatuhan.
tetapi tidak menyokong ayah dan ibu
yang sudah tua dan lemah,
inilah sebab kejatuhan.
Menipu dengan kepalsuan
pada seorang brahmana atau pertapa
ataupun rahib lainnya,
inilah sebab kejatuhan.
pada seorang brahmana atau pertapa
ataupun rahib lainnya,
inilah sebab kejatuhan.
Mempunyai kekayaan berlimpah
serta banyak emas dan makanan
tetapi hanya dinikmati oleh diri sendiri,
inilah sebab kejatuhan.
serta banyak emas dan makanan
tetapi hanya dinikmati oleh diri sendiri,
inilah sebab kejatuhan.
Menyombongkan keturunan
kekayaan atau kesukuan
merendahkan keluarga sendiri
inilah sebab kejatuhan.
kekayaan atau kesukuan
merendahkan keluarga sendiri
inilah sebab kejatuhan.
Menjadi seorang perisau,
peminum, atau penjudi
memboroskan semua penghasilan,
inilah sebab kejatuhan.
peminum, atau penjudi
memboroskan semua penghasilan,
inilah sebab kejatuhan.
Tidak puas dengan isteri sendiri,
bersama perempuan lacur
dan isteri orang lain,
inilah sebab kejatuhan.
bersama perempuan lacur
dan isteri orang lain,
inilah sebab kejatuhan.
Seorang yang telah tua
memperistrikan wanita muda
dan tidak dapat tidur karena cemburunya,
inilah sebab kejatuhan.
memperistrikan wanita muda
dan tidak dapat tidur karena cemburunya,
inilah sebab kejatuhan.
Memberikan kekuasan kepada seorang
wanita
untuk munim-minum dan pemborosan
atau kepada laki-laki dengan kelakuan serupa,
inilah sebab kejatuhan.
untuk munim-minum dan pemborosan
atau kepada laki-laki dengan kelakuan serupa,
inilah sebab kejatuhan.
Terlahir dalam keluarga ksatria
dengan cita-cita tinggi dan sedikit kemampuan,
merindukan tahta kekuasaan,
inilah sebab kejatuhan.
dengan cita-cita tinggi dan sedikit kemampuan,
merindukan tahta kekuasaan,
inilah sebab kejatuhan.
Mengetahui dengan baik
semua sebab kejatuhan di dunia,
pertapa suci yang memiliki pandangan terang
menjalani kehidupan yang berbahagia.
semua sebab kejatuhan di dunia,
pertapa suci yang memiliki pandangan terang
menjalani kehidupan yang berbahagia.
0 komentar:
Posting Komentar